Melanjutkan diskusi dalam artikel sebelumnya mengenai kemampuan Starlink untuk memberikan layanan Internet broadband, sekarang saatnya kita diskusikan tentang kemungkinan kemampuan Starlink yang lain untuk memberikan layanan komunikasi seperti yang diberikan oleh operator seluler.
Dulu kita menganut paradigma bahwa satu-satunya untuk bisa melakukan komunikasi dengan menggunakan satelit yaitu dengan cara memancarkan sinyal yang sangat kuat agar bisa tembus ke satelit di luar angkasa. Namun saat ini paradigma tersebut telah berubah bahwa karena ada alternatif solusi komunikasi satelit lain yang dapat dilakukan dengan cara mendekatkan satelit agar lebih dekat dengan bumi meskipun akan dibutuhkan banyak sekali satelit untuk mendukung komunikasi ini.
Hal ini diperlihatkan dengan adanya pengumuman yang cukup mengejutkan tentang konektivitas seluler dengan menggunakan satelit dari Apple, Starlink, dan T-Mobile pada kuartal ketiga tahun 2022. Pengumuman ini mempromosikan tentang gagasan konektivitas seluler di mana saja dan dalam bentuk media apa saja. Namun, sebagaimana layaknya layanan pertama, konektivitas ini tidak berjalan dengan mulus setelah diluncurkan. Apple dan Huawei pada awalnya menggelar layanan dengan menghubungkan ke satelit lama pada orbit yang lebih tinggi, sehingga memerlukan waktu lebih dari 10 menit untuk membuat sebuah sambungan. Bahkan jaringan berbasis LEO (low earth orbit) yang lebih baru, seperti milik penyedia layanan Lynk Global, saat ini hanya mengiklankan layanan SMS melalui satelit tersebut. Terlihat bahwa layanan ini belum dapat menjanjikan link berkapasitas lebih tinggi atau handal yang diperlukan untuk sebuah panggilan suara atau video.
Hal itu membuktikan bahwa menghubungkan telepon seluler dengan satelit tidak semudah menghubungkannya dengan menara seluler, ada problem yang sangat rumit terutama karena penundaan sinyal yang jauh lebih besar. Selain itu semua teknologi yang dikembangkan dalam telepon seluler mempunyai standar sinkronisasi waktu komunikasi dalam ukuran 5 hingga 10 milidetik saja. Sehingga telepon seluler dapat bekerja dengan dengan baik dengan menara yang jaraknya dari mulai setengah kilometer hingga lebih dari 4 kilometer jauhnya, tetapi tidak untuk orbit satelit serendah apapun dengan jarak ratusan atau bahkan ribuan kilometer.
Jadi selama masalah delay ini belum teratasi, maka telepon seluler tetap tidak akan berfungsi dengan baik seperti layaknya ketika telepon tersebut digunakan dengan jaringan seluler berbasis terestrial yang ada saat ini.
Selain dari permasalahan delay, ada beberapa syarat atau kondisi lain yang harus dipenuhi agar layanan satelit seperti Starlink dapat menggantikan tower dari jaringan telekomunikasi seluler. Pertama, telepon satelit dan telepon seluler mempunyai spesifikasi berbeda. Namun daripada mendesain ulang telepon seluler menjadi seperti telepon satelit, berbagai perusahaan justru mendesain ulang jaringan satelit untuk memenuhi lebih dari setengah jumlah telepon seluler yang sudah beroperasi. Namun, konsekuensinya adalah antena pada satelit harus jauh lebih besar. Misalnya, satelit pertama dari AST SpaceMobile memiliki antena susun dengan luas permukaan 64 meter persegi, diikuti dengan satelit generasi kedua dengan luas permukaan 128 m2, dan bahkan dengan rencana perluasan hingga seluas 400 m2. Sedangkan antena satelit v2mini yang baru dari Starlink hanya berukuran 6,21 m2, walaupun Starlink merencanakan untuk meluncurkan satelit kompatibel seluler yang lebih besar ketika roket Starship yang lebih besar sudah tersedia.
Gambar ini menunjukkan penyusunan satu buah set satelit dengan antena susun modular Blue Walker 3, yang nantinya memerlukan 148 set untuk melengkapi keseluruhan dari antena susun ini.
Kedua, perlu munculnya banyak teknologi satelit yang lebih kecil dan murah serta biaya peluncuran yang lebih murah seperti yang sudah terjadi dalam dekade terakhir ini agar memungkinkan model bisnis yang mengandalkan banyak satelit yang terbang pada orbit rendah dari bumi. Meskipun teknologi satelit baru ini tidak akan bertahan lama namun satelit ini akan lebih mampu mendeteksi sinyal lemah dari telepon seluler di permukaan bumi dan menangani trafik komunikasi yang terus meningkat. Saat ini mungkin hanya Starlink yang baru mampu untuk melakukan pengembangan dan peluncuran satelit untuk mendukung komunikasi satelit dengan orbit rendah ini.
Ketiga, perlu adanya peningkatan beamforming, yaitu bagaimana cara sebuah perangkat transmisi menentukan cara terbaik dalam mengarahkan sinyalnya untuk mencapai ke penerima tertentu, tanpa mengganggu penerima yang lainnya. Hal ini perlu memperhitungkan pantulan sinyal dari gedung atau lereng gunung, dari menara terrestrial, atau mungkin melibatkan penargetan sinyal dalam ruangan sempit, dan bahkan percepatan gerak yang tepat karena satelit bergerak dengan kecepatan puluhan ribu kilometer per jam. Selain itu beamforming yang lebih canggih dapat melibatkan pengiriman sinyal yang sama melalui beberapa antena sehingga sinyal-sinyal tersebut saling memperkuat. Sebuah penelitian menyimpulkan tentang penggunaan lebih dari dua lusin satelit kecil yang terbang dalam formasi berdekatan untuk melakukan pekerjaan yang saat ini bisa dilakukan oleh sebuah satelit yang kompatibel dengan teknologi jaringan seluler. Lebih lanjut dijelaskan dalam penelitian tersebut bahwa masing-masing satelit itu bekerja secara mandiri dengan komponennya masing-masing sehingga memerlukan algoritma sinkronisasi, yang harus dapat menyelaraskan frekuensi, fase, dan waktu agar sinyal dari semua satelit itu sampai secara koheren.
Ketiga syarat di atas cukup sulit dan tidak akan mudah dipenuhi dalam jangka waktu yang singkat. Oleh karena itu penggunaan satelit untuk menggantikan secara total infrastruktur jaringan seluler tidak akan terjadi dalam waktu yang singkat. Kalaupun sudah ada yang bisa melakukannya, namun jumlah operator yang mampu memberikan layanan tersebut sangat terbatas.
Teknologi Direct-to-Cell dari Starlink pada dasarnya bertujuan untuk memperluas jangkauan seluler ke wilayah di mana menara seluler tradisional tidak ada atau tidak efektif untuk didirikan. Berbeda dengan jaringan seluler tradisional yang mengandalkan jaringan menara seluler, Direct-to-Cell menghubungkan telepon seluler langsung ke satelit Starlink pada orbit LEO. Hal ini dapat menghilangkan kebutuhan infrastruktur darat seperti menara seluler di daerah terpencil. Sehingga, teknologi ini dapat memperluas cakupan area jaringan seluler secara signifikan, menyediakan konektivitas di tempat-tempat yang sebelumnya tidak terjangkau oleh layanan seluler standar pada umumnya. Operator seluler dapat bermitra dengan Starlink untuk memperluas jangkauan tanpa harus membangun infrastruktur baru.
Selain itu jaringan satelit Starlink memiliki jangkauan seluruh dunia, yang berarti teknologi ini berpotensi menyediakan konektivitas seluler universal, bahkan untuk wilayah paling terpencil sekalipun.
Gambar arsitektur umum dari layanan Direct-to-Cell dari Starlink
Dari sisi teknologi satelit Starlink dengan kemampuan Direct-to-Cell memiliki modem seluler eNodeB yang sangat canggih. Modem ini berfungsi seperti halnya tower telepon seluler yang berada di luar angkasa, dan dapat digunakan untuk mengintegrasikan jaringan yang hampir sama dengan layanan yang disediakan oleh mitra roaming seluler pada umumnya. Apabila dibandingkan dengan jaringan telepon satelit sebelumnya, Starlink mempunyai dua kelebihan, yang pertama karena satelit ini beroperasi lebih dekat ke bumi (sekitar 550 km), dan yang kedua karena SpaceX mampu untuk meluncurkan satelit yang lebih besar. Kedua hal ini akan memudahkan telepon seluler untuk terhubung ke layanan telepon berbasis satelit seperti yang sudah kita jelaskan diatas. Namun, cakupan dan penawaran layanan pada setiap wilayah bergantung pada beberapa parameter seperti peraturan daerah setempat, kemitraan dengan operator, dan letak dari stasiun bumi yang ada. Oleh karena itu SpaceX aktif mencari perusahaan telepon seluler yang mau bekerja sama untuk menjual layanan ini, dan di antara operator yang sudah bersedia adalah T-Mobile (AS), Rogers (Kanada), KDDI (Jepang), Optus (Australia), One NZ (Selandia Baru), dan Salt (Swiss).
Gambar satelit dari SpaceX dengan kemampuan Direct-to-Cell
SpaceX meluncurkan enam satelit Starlink Direct-to-Cell pertama pada tahun 2024 bersama dengan mitranya T-Mobile, dan mempertegas tujuan dari layanan ini adalah untuk menyediakan jangkauan pada zona mati seluler di lokasi yang paling terpencil sekalipun. Satelit-satelit tersebut digunakan untuk menguji layanan di Amerika Serikat, dan pertama-tama hanya memungkinkan untuk melakukan pengiriman pesan teks. Kemudian akan diperluas menjadi pengiriman suara dan data apabila sudah lebih banyak satelit yang berkemampuan sama diluncurkan.
Pihak T-Mobile sendiri menyebutkan bahwa peluncuran ini merupakan salah satu upaya mereka untuk menghilangkan zona mati seluler di Amerika, karena lebih dari satu juta kilometer persegi di AS belum tercakup oleh jaringan seluler, begitu pula dengan zona lautan yang sangat luas. T-Mobile ingin menjaga pelanggan mereka tetap terhubung bahkan pada saat mereka berada lokasi paling yang terpencil untuk memberikan ketenangan pada saat mereka sangat membutuhkan akan layanan tersebut.
Elon Musk sendiri juga menekankan bahwa saat ini satelit SpaceX hanya mendukung sekitar 7 Mb untuk setiap beam-nya dan ukuran beam-nya sendiri masih cukup besar. Namun demikian, solusi ini merupakan solusi yang cukup bagus untuk lokasi yang tidak memiliki konektivitas seluler, tetapi belum cukup bagus untuk mampu bersaing dengan jaringan seluler terestrial yang ada. Tim teknis SpaceX menambahkan dengan memberikan gambaran tentang dampak layanan ini untuk keselamatan di seluruh dunia, terutama bagi orang-orang yang bekerja untuk menangani situasi darurat, seperti petugas pemadam kebakaran dan petugas penyelamat di sepanjang lepas pantai.
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa teknologi yang digunakan oleh Starlink atau SpaceX cukup menjanjikan untuk mampu menyediakan layanan yang hampir sama dengan layanan seluler terestrial yang ada saat ini. Namun dijelaskan juga bahwa masih banyak persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut seperti ukuran dan jumlah satelit yang diperlukan, dan kemampuan beaming sinyal yang lebih presisi. Selain itu diperlukan banyak kajian-kajian ekonomis tentang layanan ini seperti komposisi kemitraan antara Starlink dengan operator seluler, peraturan atau kebijakan bisnis pada lokasi layanan, dan sebagainya.
Mudah-mudahan penjelasan ini dapat memberikan gambaran tentang bagaimana canggihnya layanan Starlink saat ini, yang pada kenyataannya masih belum cukup canggih untuk menggantikan layanan Internet broadband dan jaringan seluler berbasis terestrial untuk lokasi-lokasi dengan jangkauan yang sudah sangat bagus.
Sumber:
https://spectrum.ieee.org/satellite-cellphone-starlink
https://spectrum.ieee.org/satellite-cellphone
https://www.prysmian.com/en/insight/telecoms/nexst/starlink-4g-mobile-service
https://www.satellitetoday.com/connectivity/2024/01/03/spacex-launches-first-direct-to-cell-starlink-satellites-for-service-with-t-mobile/